Transformasi Ritual Siat Sampian Dalam Tari Anggruwat Bumi

Main Article Content

Ni Luh Putu Rani Franciska
Ida Ayu Trisnawati
Ni Wayan Suartini

Abstract

Ritual dewasa ini banyak mengalami perkembangan baik digunakan sebagai pengobatan maupun pedoman hidup, namun banyak pula yang tetap menjadikan ritual sebagai sarana upacara untuk membersihkan segala sesuatu hal yang buruk menjadi suci. Sama halnya dengan tradisi siat sampian yang sekaligus merupakan ritual di Pura Samuantiga. Asumsi masyarakat khusunya di daerah setempat percaya bahwa ritual ini merupakan media pengobatan secara niskala, sejak berpuluh tahun lamanya kepercayaan terus dijadikan sebagai pedoman hidup oleh masyarakatnya, sehingga banyak pengkaji yang berusaha menelurusi jejak tentang ritual ini, apa penyebab dan siapa yang mengutarakan hal tersebut, apakah argumen tersebut benar atau tidak. Dengan adanya bukti bahwa ritual ini merupakan sebuah peninggalan sejak masa kekuasaan Raja Warmadewa. Sehingga pertanyaan yang muncul dapat dipertanggung jawabkan dan dijadikan sebuah pembelajaran. Kembali pada Pertunjukan tari yang erat berkaitan dengan ritual dimana pertunjukan sebagai pelengkap upacara dan sering kali pertunjukan bersumber dari ritual itu sendiri. Salah satu contoh adalah tari Angruwat Bumi yang merupakan karya tari yang mendapatkan inspirasi dari siat sampian yang di dalamnya mengupas tentang perjalanan ritual yang dilakukan pada saat berlangsungnya upacara di Pura Samuantiga diformuasikan dengan mengaplikasikan teori Cipta Seni oleh I Nyoman Sedana dengan menggunakan empat kerangka mencipta seni yaitu sumber cipta seni, sastra cipta seni, komposisi cipta seni, produk cipta seni. Bentuk dari karya adalah kreasi baru yang ditarikan oleh tujuh orang penari putri dan menggunakan empat bagian sebagai struktur dimana karya tari ini merupakan bentuk persembahan dimana kita terlahir untuk tuhan dan mati untuk tuhan, hanya saja tari ini terealisasikan dengan penyeimbangan keburukan dan kebaikan dan fungsi sendiri sebagai wujud bakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Today’s rituals have undergone many improvements both used as a treatment and life guide, but many still mantain as a ritual for the ceremonial means to clean up everything that is bad becomes scared. So with this tradition which is also a ritual in the temple. The assumption of the community, especially in the local area, believe that this ritual is a non-standard treatment medium. Since decades ago faith as has continued to serve as a guideline for life by its poeple, so many reviewers are trying to trace the ritual, what burden and ready to express it, whether the argument is true or not. With the evidence that this ritual is a legacy of the regin of the king of Warmadewa. So that question that appear can be justified and to be learning. Returning to dance performance that are closely related to the rituals of the performing performance are as a complement to the ceremony and are often sourched from the ritual itself. One example is the Angruwat Bumi dance which is dance work that get inspiration for the siat sampian in which peeled about the ritual journey that was done during the ceremony at the Samuantiga temple formulated with apply theory create of art by I Nyoman Sedana with to use four framework to create of art there are, the source to create of art, the literature to create of art, the composition to create of art, the product to create of art. The form of the creation is the new dance who to use seven girls dancers and used four part as structure where this creation is form of the offerings who we were born for god and die for god, only this creation is realized with balance of the kind and of the ugliness and than that function own as the form devotion the Ida Sang Hyang Widhi Wasa

Article Details

How to Cite
Rani Franciska, N. L. P., Trisnawati, I. A., & Suartini, N. W. (2018). Transformasi Ritual Siat Sampian Dalam Tari Anggruwat Bumi. Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan, 4(1). https://doi.org/10.31091/kalangwan.v4i1.453
Section
Articles

References

Bandem, I Made. (1983), Ensiklopedia Tari Bali. Denpasar: Akademi Seni Tari.

Bandem, I Made & Fredrik Eugene deBoer. (2004). Kaja dan Kelod Tarian Bali dalam

Transisi. Terj. I Made Marlowe Makardwaja Bandem. Yogyakarta: Institut

Seni Yogyakarta.

Dibia, I Wayan. (2012). Geliat Seni Pertunjukan Bali: Denpasar: Arti Foundation.

Dibia, I Wayan. (2012). Ilen-ilen Seni Pertunjukan Bali: Denpasar: Bali Mangsi.

Dibia, I Wayan. (2013). Puspasari Seni Tari Bali. Denpasar: UPT. Penerbitan ISI Denpasar.

Dibia, I Wayan. (2017). Taksu dalam Seni dan Kehidupan Bali: Denpasar: Bali Mangsi.

Hadi, Y Sumandiyo. (2000). Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Yayasan untuk

Indonesia.

Hawkins, Almam. (2003). Bergerak menurut kata hati Metode Baru dalam Menciptakan

Tari. Jakarta:Ford Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Patera, I Wayan. (2011). Kahyangan Jagat Pura Samuan Tiga. Panitia Karya Pedudusan Pura Samuantiga.

Sedana, I Nyoman. (2016). “Teori Cipta Seni Konseptual†Prosiding Seminar

Nasional, Seni Pertunjukan Berbasis Kearifan Lokal. FSP ISI Denpasar.

Soedarsono. (1975). Komposisi Tari. Yogyakarta: Akademi Seni Tari Indonesia.

Yudabakti, I Made dan I Wayan Watra. (2007). Filsafat Seni Sakral dalam Kebudayaan

Bali. Surabaya.